BENGKULU – Hak-hak Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Provinsi Bengkulu selama ini dinilai masih banyak didiskriminasi.
Ini dikarenakan tidak ada payung hukum yang tegas mengatur terkait dengan hak-hak Pekerja Rumah Tangga (PRT) agar disamaratakan dengan pekerja lainnya.
Padahal dalam konvensi ILO jelas dinyatakan bahwa Pekerja Rumah Tangga atau PRT itu merupakan salah satu bagian dari pekerja.
Dengan adanya pengakuan ini, berarti harusnya ada dorongan untuk pemenuhan hak-hak bagi PRT sebagai pekerja.
“Jadi semua yang melakukan pekerjaan domestik rumah tangga itu disebut PRT. Mulai dari merawat tanaman dan kebun, merawat bayi dan lansia, dan pekerjaan rumah lainnya,” kata Ketua Yayasan PUPA Bengkulu, Susi Handayani usai menggelar hearing dengan Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Provinsi Bengkulu, Senin (22/8/2022).
Salah satu hak yang didorong oleh PUPA bersama koalisi Perempuan Peduli Hak Asasi Manusia (PPHAM) Bengkulu dan Jaringan Peduli Perempuan Bengkulu (JPPB) Bengkulu hari ini adalah untuk pengakuan hak terkait aturan pengupahan PRT.
Yaitu dalam pengupahan harus ada kejelasan upah yang disetujui kedua belah pihak, baik pihak pekerja maupun penerima kerja.
“Misal yang memberi kerja mampu bayar upah sesuai UMR, itu dibicarakan apakah sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan apa tidak,” ujar Susi.
Selanjutnya hak kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan setiap PRT juga wajib dijamin oleh pemberi kerja.
Termasuk juga hak untuk menerima cuti dan dan hak untuk mengetahui kepastian jenis pekerjaan yang akan dilakukan.
Termasuk juga berapa lama durasi jam kerja setiap hari, hari libur dan juga hitungan jam lembur dan upah lembur.
“Kita juga minta komitmen Pemda untuk membuat peraturan pantauan, pengawasan serta penyelesaian perselisihan yang dialami PRT. Kalau kita inginnya berbentuk Perda, karena dari pengalaman kita selama ini Pergub itu nggak bunyi,” beber Susi.
Terpisah Ketua Bapemperda DPRD Provinsi Bengkulu, Usin Abdisyah Putra Sembiring mengatakan, memang selama ini payung hukum bagi PRT memang belum ada.
Meskipun sudah ada Undang-Undang Ketenagakerjaan, namun didalam konteksnya masih belum menyentuh para PRT.
“Banyak contoh kasus, misalnya seperti PRT yang disiksa kemarin, kemudian penetapan upahnya apakah UMR atau seperti apa, ini harusnya ada payung hukumnya,” ungkap Usin.
Apalagi terkait pengupahan bagi para PRT, menjadi tidak terukur karena adanya hubungan persaudaraan.
Padahal sejatinya, PRT justru telah membantu memenuhi kewajiban suami, istri ataupun anak melalui pekerjaan yang ia lakukan.
Atas permintaan agar adanya payung hukum bagi para PRT yang disampaikan kepada pihaknya, Usin mengaku sudah menerima dan akan melaporkannya pada pimpinan DPRD.
Selanjutnya mereka akan melaksanakan rapat internal untuk melakukan pembahasan terkait usulan ini kepada anggota Bapemperda yang lainnya.
Selanjutnya jika dalam rapat tersebut mereka memiliki persepsi yang sama, maka ada kemungkinan usulan tersebut akan menjadi perda inisiatif DPRD.
“Dalam konteks sementara bisa saja Pergub dulu, tapi kedepan tetap harus dituangkan dalam Perda, karena Pergub ini tidak ada sanksi pidananya dan sifatnya hanya sementara. Untuk payung hukum itu lebih kuat Perda,” jelas Usin. (adv)
2 Komentar