JAYAPURA, jejakkeadilan.com– Bertempat di asrama Pelajar dan Mahasiswa Tambrau kota studi Jayapura mengelar diskusi tentang hukum kritis terkait Hak masyarakat adat. Pada , Sabtu , (18/2).
Melalui keterangan tertulis Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Emanuel Gobai, SH, MH, mengatakan, “hal itu kami menggelar atas permintaan Mahasiswa Tambrau Kota Studi Jayapura. Permintaan itu didasari atas fakta dampak buruh tanah adat dan SDA milik Masyarakat Adat setempat yang dirasa sudah, sedang dan akan terdampak sehingga mahasiswa Tambrau meminta diskusi untuk menganalis Hak Masyarakat adat secara Hukum, “jelas Direktur LBH Papua Emanuel Gobai MH melalui keterangan tertulis yang diterima media jejakkeadilan,
Awalnya, Kata Gobai, diskusi dimulai dengan melihat ambisi Ekonomi Politik Negara diatas wilayah adat Papua mengingat, ” diselipkan dalam berbagai kebijakan yang sedang dibuat oleh pemerintah pusat dengan tujuan memuluskan kepentingan ekonomi politik diatas wilayah adat papua yang terlihat dalam Perumusan UU Cipta Kerja selanjutnya disusul dengan Perubahan UU Pertambangan yang tujuannya adalah memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha sesuai perintah Pasal 34 ayat (2), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Fakta pemulusan tersebut secara praktis terfasilitasi melalui pemberlakuan Daerah Otonomi Baru (DOB) diatas Wilayah Adat Papua yang telah jelas-jelas akan melahirkan konflik agraria yang hebat di Papua, “bebernya.
“Semua kebijakan tersebut secara jelas dimaksudkan untuk memuluskan kepentingan ekonomi politik Negara di wilayah adat Papua mulai terlihat jelas melalui fakta Pemerintah Pusat secara sepihak melakukan promosi atas pengolahan SDA Papua baik di rencana Proyek, misalanya, ” benduhan Urumuka yang terletak di Kabupaten Mimika maupun pengolahan Harta Karun Migas Blog Warim yang terletak diantara Kabupaten Mappi dan Kabupaten Pegunungan Bintang maupun Proyek Tambang Blog Wabu yang terletak di Kabupaten Intan Jaya dan lain sebagainya. Melalui penerapan DOB sendiri tentunya akan melahirkan konflik agraria.
Gobai mencontohi, sebagaimana yang terlihat dalam perserisian antara Masyarakat adat Hubula dengan Wamendagri RI dalam kasus penempatan Kantor Gubernur Papua Pegunungan Tengah maupun di Kabupaten Tambrau pasca pemindahan Ibu Kota Kabupaten ke Distrik Fef, “ungkap Gobai melalui keterangan tertulis.
Pada prinsipnya, Lanjutnya, Eksistensi masyarakat adat serta hak masyarakat adat secara tegas telah dijamin dalam Deklarasi Internasional Tentang Hak Masyarakat Adat Internasional Tahun 2009, Pasal 18b UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 2 Tahun 2021 dan juga beberapa Perda Tentang Perlindungan Masyarakat Adat dan Tanah Adat. Atas dasar itu, jaminan hukum terhadap Masyarakat adat dan Hak Masyarakat Adat telah jelas dan tegas sehingga Masyarakat Adat dapat memperjuangkan hak-haknya jika faktanta ada tindakan pelanggaran terhadap hal masyarakat adat yang terjadi, “ujarnya.
“mengingat secara hukum telah ada jaminan perlindungan bagi Masyarakat Adat dan Hak Masyarakat Adat maka sudah saatnya masyarakata adat mendata semua jenis hak Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki mulai dari :Matahari, Udara, angin, Air, Tanah , Pohon, Pasir dan Batu, Emas, Tambang, Nikel, Uranium, Minyak, Gas, satwa baik di darat dan air (tawar dan asin), Pulau, “ungkap Pengacara Papua itu.
Pada prinsipnya pendataan SDA milik Masyarakat Adat diatas dilakukan berdasarkan pada semua aturan yang mengatur tentang semua jenis SDA diatas mengakui eksistensi dan kepemilikan Masyarakat Adat sehingga wajib hukumnya bagi Masyarakat Adat untuk mendata SDAnya. Pendataan diatas dimaksudkan agar Masyakat Adat tidak tertipu sebagaimana dalan Kasus Pemanfaatan Air untuk kepentingan listrik maka perjanjiannya dilakukan atas pemanfaatan objek air saja yang terpisah dengan unsur objek lainnya. Apabila untuk membangunan bangunan PLTA maka dalam rangka pemanfaatan objek tanah maka kontraknya dilakukan secara terpisah khusus untuk pemanfaatan tanah untuk pembangunan bangunan PLTA. Melalui pembedaan objek SDA diatas masyarakat adat akan dapatkan keuntungan dari perjanjian atas objek air dan perjanjian atas objek tanah.
Agar dapat mengefektifkan perjanjian atas masing-masing objek SDA milik masyarakat adat diatas maka setelah pendataan SDA dilakukan selanjutnya diharapkan agar Masyarakat Adat membangun pemahaman bersama untuk menentukan mekanisme kerja sama atau perjanjian dengan pihak manapun yang akan mengunakan atau memanfaatkan atau mengelola SDA milik Masyarakat Adat sebagaimana dalam Kasus Pemanfaatan Objek Air dan Tanah untuk kebutuan PLTA diatas.
Dari uraian diatas hal mendasar adalah dapat ditempuh dengan kerja sama mengunakan mekanisme perjanjian kontrak.
” perjanjian kontrak yang secara jelas dijamin dalam Hukum Perdata. Usulan perjanjian kontrak disampaikan dengan maksud agar hak masyarakat adat masih ada dan terus akan diwariskan kepada anak cucu dimasa mendatang,”Pinta Emanuel Gobai.
Gobai juga berpesan kepada pelajar dan mahasiswa Tambrau sebagai organisasi mahasiswa wajib melindungi hak atas adat, ” mahasiswa sebagai organisasi yang memiliki kewajiban untuk melakukan perlindungan, penghormatan, serta penegakan hak asasi Mmansuia sesuai dengan bunyi Pasal 100, Pasal 101, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hal Asasi Manusia. Dengan melihat Hak Masyarakat adat dijamin juga dalam UU HAM sehingga apabila ada Hak Masyarakat Adat yang haknya terlanggar maka Ikatan Pelajar dan Mahasiswa dapat pergunakan perintah Pasal 100 dan 101, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM untuk memperjuangkan Hak Masyarakat Adat, “tutupnya. (JK/JI)
3 Komentar