Kelompok Tani Hutan (KTH) Minta Perhutani Tak Cawe Cawe, Jangan Ada Pungutan Liar

Blitar.jejakkeadilan.com – Kawasan hutan wilayah blitar selatan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) Kabupaten Blitar masih jadi benang kusut. Kelompok Tani Hutan (KTH) menilai perjanjian kerja sama (PKS) yang diberlakukan Perum Perhutani KPH Blitar menyalahi aturan dan justru ilegal.

Bahkan, KTH mengancam bakal membawa persoalan di Blitar ini ke pemerintah pusat melalui kementerian terkait.

Ketua KTH Wismo Buwono Mulwo Tambakrejo, Djumar Bin Musahir mengungkapkan, berdasarkan Permen KLHK Nomor 4, Perhutani tidak lagi punya kewenangan dalam pengelolaan sebagian kawasan hutan. Dengan begitu, pemberlakuan sistem PKS di Blitar justru dinilai sebagai tindakan pungutan liar (pungli).

“Harusnya Perhutani lebih mengerti dan tidak boleh ikut campur karena sudah terpisah. Kalau masih ikut mengurus KHDPK, berarti ada peraturan yang dilanggar. Sedangkan selama ini, praktiknya, diduga Perhutani menarik sharing tanaman tebu melalui LMDH,” ungkapnya.

“Ia menilai jumlah sharing yang ditarik oleh Perhutani terbilang memberatkan para petani hutan. Yakni mencapai Rp 3,5 juta per hektare. Nah, dalam hal ini KTH juga menuntut transparansi pengelolaan dana sharing yang ditarik dari para petani.

“Hasil sharing itu dikemanakan? Karena beberapa waktu lalu juga ada anggota kami yang dimintai Rp 1 juta untuk seperempat hektare lahan,” ujarnya.

Djumar mengungkapkan, ada sekitar 2.874 hektare KHDPK di wilayah KTH Tambakrejo. Lahan tersebut diserahkan untuk dikelola sepenuhnya oleh masyarakat atau petani hutan melalui tiga skema. Yakni, hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKM), dan hutan tanaman rakyat (HTR).

“Salah satu syarat dalam pengelolaannya kan masyarakat harus membentuk kelompok. Lalu melakukan pengelolaan melalui satu dari tiga skema yang ada. Kami sudah ada SK dan hak kelola dari pemerintah yang kami terima pada September lalu. Itu mutlak,” ucapnya.

Disinggung soal pentingnya PKS guna menjaga ekosistem, Djumar mengaku bahwa juga melakukan penanaman tumbuhan keras di kawasan hutan.

“Soal tanaman (berbatang keras, Red) sudah berjalan sejak lama. Sebelum terbit SK Nomor 287 tentang KHDPK, sharing profit memang ada dan harus membayar. Saat itu KTH belum ada kewenangan untuk ikut campur. Namun, setelah terbit SK yang dimaksud, Perum Perhutani seharusnya berhenti untuk meminta sharing,” sebutnya.

Sebagai tindak lanjut, Djumar dan forum KTH Blitar berencana melaporkan hal ini ke pemerintah pusat jika Perhutani tidak segera menarik diri dari area KHDPK. “Iya. Akan kami bawa ke KLHK dan Balai Gakkum LHK,” tandasnya.

Sementara itu, hingga berita ini ditulis, Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Jawa Timur (Jatim) belum memberikan pencerahan seputar polemik kawasan hutan di Kabupaten Blitar ini. Koran ini sudah berusaha menghubungi, tetapi belum ada jawaban. (Zun)

Tinggalkan Balasan