Peninjauan Kembali Terpidana Mati Kasus Narkoba Jadi Sorotan, Harapan Terakhir Hindari Eksekusi

Kuasa hukum Shi Jiayi alias Jia Bo memberikan keterangan pers usai sidang PK di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis (13/03/2025).

Jakarta, JejakKeadilan.com – Terpidana mati kasus narkoba yang kontroversial, Shi Jiayi alias Jia Bo, resmi mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas vonis hukuman mati yang diterimanya delapan tahun lalu. Langkah ini menjadi upaya terakhir untuk memperoleh keadilan dan menghindari eksekusi.

Kuasa hukum Jia Bo, Rustam Efendi, SH, menegaskan bahwa ini adalah kali pertama kliennya mengajukan permohonan PK. “Kami menemukan kejanggalan dalam proses hukum sebelumnya. Permohonan ini bertujuan agar majelis hakim dapat mengkaji kembali fakta-fakta yang dipertimbangkan dalam vonis tersebut,” ujar Rustam setelah sidang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada Kamis (13/03/2025).

Bacaan Lainnya

Meskipun tidak mencantumkan novum atau bukti baru, tim kuasa hukum tetap optimistis bahwa argumentasi hukum yang diajukan dapat menjadi landasan kuat untuk menganulir vonis sebelumnya. “Kami mendasarkan permohonan ini pada prinsip keadilan, dengan menunjukkan adanya potensi kekeliruan besar dalam putusan terdahulu,” tambah Rustam.

Sidang kali ini mempersoalkan kontra-memori atas putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 118/Pid.Sus/2017/PT.DKI yang sebelumnya menguatkan vonis Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 68/Pid.B/2018/PN.Sng.

Rustam turut menyoroti bahwa penerapan hukuman mati bertentangan dengan prinsip dasar pemasyarakatan, yang idealnya memberikan kesempatan bagi narapidana untuk memperbaiki diri. “Hukuman mati adalah keputusan final yang tak dapat dikoreksi jika terdapat kekeliruan. Oleh karena itu, sangat penting bagi sistem peradilan untuk berhati-hati dalam memastikan tidak ada pelanggaran hak asasi manusia,” tegasnya.

Kasus yang melibatkan Shi Jiayi ini kembali memanaskan perdebatan publik mengenai relevansi dan efektivitas hukuman mati di Indonesia. Para aktivis HAM dan pengamat hukum menilai bahwa hukuman semacam ini sering kali menutup peluang bagi terpidana untuk melakukan refleksi dan rehabilitasi diri.

Dengan langkah PK ini, Jia Bo berharap majelis hakim dapat mengevaluasi ulang putusan sebelumnya menggunakan pendekatan yang lebih humanis serta mempertimbangkan konsep pembinaan narapidana sebagai landasan utama dalam penegakan hukum di Tanah Air. Publik kini menantikan perkembangan kasus ini, yang berpotensi menjadi preseden penting dalam sejarah peradilan Indonesia. (jk)