Site icon Jejak Keadilan

Mafia Tanah Di Balik Penyerobotan Batas Desa: Sugeng Cs Diduga Dalang Pengklaiman Sepihak Lahan 70 Milik Warga Bandarratu, Desakan Polda Segera Ambil Alih Penyelidikan

Mukomuko – Konflik lahan kembali mencuat di wilayah perbatasan antara Desa Bandarratu dan Rawa Mulya (SP7), Kabupaten Mukomuko. Sekelompok warga yang dikomandoi oleh Sugeng Cs diduga kuat melakukan aksi penyerobotan dan pengklaiman sepihak atas Lahan 70, yang secara sah masuk dalam wilayah administrasi Desa Bandar Ratu dan diketahui telah lama dikuasai dan dimiliki oleh warga bernama Bapak Edi.

Aksi Terkoordinasi Diduga Bermuatan Provokasi dan Mafia Tanah
Berdasarkan informasi dan dokumentasi yang dihimpun, Sugeng Cs diduga telah mempengaruhi dan memprovokasi sekelompok masyarakat SP7 untuk berbondong-bondong memasuki dan menduduki lahan 70 tanpa dasar kepemilikan yang sah. Gerakan ini terindikasi sebagai bagian dari skenario sistematis mafia tanah yang kerap terjadi di wilayah perbatasan desa, dengan modus mengklaim lahan atas nama kelompok demi kepentingan tersembunyi.

“Ini sudah bukan lagi persoalan miskomunikasi batas desa. Yang terjadi adalah penyerobotan dan pendudukan liar, yang digerakkan oleh aktor-aktor tertentu seperti Sugeng Cs yang ingin menguasai lahan bukan haknya,” ungkap salah satu tokoh masyarakat Bandar Ratu.
Dasar Hukum dan Jerat Pidana
Tindakan Sugeng Cs dkk dapat dikenakan sanksi hukum pidana berdasarkan: Pasal 385 KUHP ayat (1):
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan, menyewakan, menggadaikan, memakai atau menguasai barang tidak bergerak yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain dan diketahui bahwa barang itu bukan miliknya, dapat diancam pidana penjara paling lama 4 tahun.”
UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP Baru, Pasal 433:
“Setiap orang yang dengan melawan hukum menguasai tanah yang sudah dimiliki orang lain dengan sah, diancam pidana penjara paling lama 5 tahun.”

UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA):
Mengatur hak atas tanah dan larangan mengganggu hak pihak lain yang telah bersertifikat atau memiliki bukti penguasaan sah.


Contoh Kasus Serupa yang Diputus Pidana

  1. Putusan MA Nomor 2644 K/Pid/2018 – Seorang pelaku dijatuhi hukuman penjara karena terbukti menduduki dan menjual lahan milik orang lain dengan alasan warisan fiktif.
  2. Putusan PN Jakarta Timur No. 187/Pid.B/2019/PN Jkt.Tim – Aksi provokasi terhadap warga untuk mengklaim tanah sengketa dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum dan pelaku dijatuhi pidana 3 tahun penjara.

Pernyataan Ahli Pidana dan Perdata
Menurut Dr. Roni Kurniawan, SH, MH, pakar hukum pidana Universitas Lampung:
“Perbuatan memprovokasi masyarakat untuk menduduki tanah yang bukan haknya termasuk kategori penyertaan dalam tindak pidana penyerobotan tanah. Hal ini dapat dijerat dengan pasal 55 dan 56 KUHP sebagai pelaku penyuruh atau pembantu tindak pidana.”

Sementara Prof. Eko Sutrisno, SH, M.Hum, pakar hukum agraria dan perdata menyatakan:

“Tidak ada dasar hukum untuk masyarakat mengklaim sepihak batas wilayah tanpa proses verifikasi administrasi desa, BPN, dan RTRW. Apabila dilakukan secara kolektif dan masif, itu bisa dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum yang masuk ranah pidana, bukan sekadar perdata.”
Pendapat Ahli Hukum
(Terkait Keabsahan Dokumen Transmigrasi Tanpa Penyerahan Lahan)

Dalam perspektif hukum agraria dan administrasi negara, dokumen legalisasi penempatan transmigrasi hanya sah apabila disertai dengan bukti penyerahan tanah secara nyata dan sah menurut hukum adat maupun hukum negara.
Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Dr. Maria SW Sumardjono, SH, MCL, MPA – Guru Besar Hukum Agraria UGM – dalam beberapa kajian akademiknya:

“Suatu penguasaan atau hak atas tanah tidak dapat dianggap sah secara hukum jika tidak didasarkan pada proses penguasaan tanah yang sesuai dengan norma hukum yang berlaku, termasuk pengakuan dan pelepasan hak dari masyarakat hukum adat atau warga pemilik asal.”
Lebih lanjut, dalam konteks penempatan transmigrasi, tiga hal mutlak diperlukan agar dokumen penempatan transmigrasi menjadi sah:

  1. Persetujuan tertulis dari pemerintah desa atau lembaga adat.
  2. Pelepasan hak atau penyerahan lahan oleh warga atau masyarakat hukum adat yang menguasai lahan tersebut secara turun-temurun.
  3. Bukti fisik atau administratif tentang serah terima tanah, baik dalam bentuk berita acara, surat keterangan kepala desa, maupun akta pelepasan hak.

Apabila tidak ada dokumen pelepasan hak atau bukti serah terima lahan secara sah dari masyarakat setempat, maka dokumen transmigrasi tersebut cacat secara hukum dan berpotensi batal demi hukum, karena:
1) Tidak memenuhi asas legalitas dan konsensual dalam hukum perjanjian (jika dimaknai sebagai pengalihan hak),
2) Melanggar prinsip pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B UUD 1945, UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA, dan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012.
Oleh karena itu, berdasarkan pendapat hukum dan peraturan yang berlaku, dokumen penempatan transmigrasi tanpa bukti penyerahan lahan oleh pemerintah desa adat maupun warga yang memiliki tanah tersebut adalah tidak sah dan tidak dapat menjadi dasar hak atas tanah.
Kesimpulan dan Seruan Keadilan
Aksi Sugeng Cs patut didalami aparat penegak hukum sebagai dugaan praktik mafia tanah. Masyarakat dan pemilik lahan sah seperti Bapak Edi memerlukan perlindungan hukum agar tidak menjadi korban penyerobotan berkedok klaim batas desa. Pemerintah daerah, kepolisian, dan ATR/BPN didesak untuk turun tangan menghentikan gerakan liar ini sebelum berkembang menjadi konflik horizontal yang lebih besar.

Selain itu, aktivis LSM LP-KPK Kabupaten Mukomuko juga menyatakan keprihatinannya terhadap lambannya penanganan kasus ini. Dalam pernyataannya, aktivis LP-KPK mendesak aparat penegak hukum, terutama Polda Bengkulu, untuk mengambil alih penanganan perkara ini dari Polres Mukomuko. Hal ini dikarenakan kasus mafia tanah yang diduga kuat dilakukan oleh Sugeng Cs tersebut telah berlangsung bertahun-tahun tanpa penyelesaian yang jelas. Bahkan, penyidik Polres Mukomuko selama ini dinilai selalu mengarahkan perkara ini ke jalur perdata, padahal unsur-unsur pidana terkait praktik mafia tanah sudah sangat jelas dan terang benderang, baik dari sisi penguasaan lahan tanpa hak, pembakaran, maupun provokasi massal.

Sudah tidak terhitung banyaknya saksi yang telah diperiksa dari kedua belah pihak, namun proses penyelidikan oleh penyidik selalu stagnan dari tahun ke tahun. Maka sudah saatnya dan sangat mendesak agar perkara ini diambil alih oleh Polda Bengkulu, sebagaimana data dan dokumen laporan resmi ke Polda Bengkulu juga pernah disampaikan oleh kuasa hukum pemilik lahan 70 dengan Nomor Surat laporan 01/L-70/MM/IV/2025 Prihal Laporan pengaduan Mafia Tanah tgl. 27 April 2025 diterima Lansung oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bengkulu. Penanganan di tingkat Polda diharapkan dapat membuka kembali penyidikan secara objektif, profesional, dan tuntas

terhadap dugaan praktik mafia tanah yang sangat merugikan warga pemilik sah lahan. (**)

Exit mobile version