Sengketa Lahan 70 Hektare di Bandar Ratu: Penyelesaian Harus Berdasarkan Aturan Terbaru, Klaim Warga SP7 Rawa Mulya Dinilai Cacat Administratif

- Sengketa lahan seluas 70 hektare antara masyarakat Kelurahan Bandar Ratu dan sebagian warga SP7 Desa Rawa Mulya kembali memanas. Permasalahan ini kian kompleks setelah ditemukan dugaan bahwa patok batas desa yang dipasang oleh warga SP7 berada di luar wilayah administratif Rawa Mulya yang sah menurut peta resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Mukomuko, 29 Juni 2025 – Sengketa lahan seluas 70 hektare antara masyarakat Kelurahan Bandar Ratu dan sebagian warga SP7 Desa Rawa Mulya kembali memanas. Permasalahan ini kian kompleks setelah ditemukan dugaan bahwa patok batas desa yang dipasang oleh warga SP7 berada di luar wilayah administratif Rawa Mulya yang sah menurut peta resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Data dari BPS menyebutkan bahwa luas wilayah Desa Rawa Mulya hanya 8 kilometer persegi, yang berarti klaim sepihak terhadap lahan di luar batas tersebut merupakan tindakan di luar otoritas administratif.

Warga SP7 Rawa Mulya Diduga Langgar Aturan Penelantaran Lahan

Dalam beberapa kesempatan, warga SP7 mengklaim bahwa mereka memiliki sertifikat tanah transmigrasi yang diterbitkan sejak tahun 1990. Namun klaim ini dipertanyakan karena lahan yang diklaim tersebut selama puluhan tahun tidak pernah diolah, dan baru diklaim ketika terjadi peningkatan nilai ekonomi wilayah tersebut.

“Jika mereka memang memiliki sertifikat resmi, kenapa selama 30 tahun lebih tidak pernah ada tanda penguasaan fisik? Ini bisa masuk kategori penelantaran lahan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar,” ungkap salah satu tokoh masyarakat Bandar Ratu.

Sengketa Harus Diselesaikan Berdasarkan Aturan Terbaru

Penyelesaian perkara semacam ini tidak dapat lagi berpatokan pada dokumen-dokumen lama, terlebih jika dokumen tersebut tidak disesuaikan dengan peta wilayah administrasi terbaru yang sah secara hukum. Dalam hal ini, asas lex posterior derogat legi priori berlaku, di mana aturan terbaru mengesampingkan yang lama.

Merujuk pada UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan regulasi turunannya, batas wilayah desa harus mengacu pada peta administrasi desa yang ditetapkan melalui proses resmi dan diakui oleh pemerintah pusat.

Pemerintah Didorong Tegas Menetapkan Batas Wilayah

LSM LP-KPK Mukomuko dan kelompok masyarakat pribumi Bandar Ratu mendesak pemerintah daerah dan kementerian terkait agar segera menetapkan dan menegaskan kembali batas administrasi desa berdasarkan peta resmi yang dikeluarkan oleh BPS dan instansi pertanahan.

“Jangan sampai konflik berkepanjangan karena penundaan penyelesaian administrasi. Ini bukan hanya soal tanah, tapi juga tentang keadilan dan ketertiban wilayah,” ujar M. Toha, Ketua LSM LP-KPK Mukomuko.

Pandangan Hukum dari LSM KRM

Ketua LSM KRM, Junaidi, S.AP, menyatakan bahwa tidak ada alasan hukum yang membenarkan klaim sepihak warga SP7 terhadap wilayah yang secara administratif dan historis berada dalam kekuasaan Kelurahan Bandar Ratu.

“Secara prinsip hukum tata pemerintahan dan hukum agraria, batas wilayah yang sah adalah yang

ditetapkan oleh negara melalui peta resmi BPS, bukan berdasarkan klaim satu pihak. Bahkan bila warga SP7 memiliki sertifikat, namun berada di luar wilayah yang mereka kuasai secara administratif dan fisik, maka itu cacat hukum dan dapat digugat,” tegas Junaidi.

Ia juga menambahkan bahwa penelantaran lahan lebih dari 20 tahun adalah bukti kuat bahwa penguasaan tersebut telah gugur demi hukum.

Penegasan Hukum: Peraturan Terbaru Jadi Acuan

Dengan adanya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka segala bentuk keputusan dan tindakan hukum harus berdasarkan peraturan yang berlaku saat ini, bukan masa lalu. Oleh karena itu, penyelesaian batas wilayah dan penguasaan lahan harus berpijak pada data dan peraturan terbaru, bukan klaim sepihak yang tidak sesuai dengan peta administrasi desa yang sah. (**)