JejakKeadilan.com – Sabtu hingga Minggu dini hari, tanggal 30-31 Agustus 2025, menjadi momen kritis dalam sejarah sosial-politik Indonesia. Gelombang penjarahan mengejutkan publik setelah rumah beberapa tokoh ternama seperti anggota DPR RI nonaktif Ahmad Sahroni, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), Surya Utama (Uya Kuya), hingga kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi sasaran vandalisme dan penjarahan. Semua ini terjadi sebagai buntut dari demonstrasi besar-besaran yang menuntut penghapusan tunjangan anggota DPR RI.
Namun, di tengah sorotan terhadap aksi massa tersebut, Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi objek kritik dan tuduhan atas dugaan pembiaran terhadap peristiwa penjarahan itu. Wakil Panglima TNI, Tandyo Budi Revita, dengan tegas menyatakan bahwa pihaknya tetap berpegang pada konstitusi dan tidak melakukan tindakan tanpa permintaan resmi dari lembaga yang bertanggung jawab atas keamanan publik.
Menurut Tandyo, tanggung jawab utama dalam menjaga ketertiban masyarakat ada di tangan Polri. TNI hanya berperan sebagai pasukan bantuan jika ada permintaan resmi untuk turun tangan. Dalam penjelasan di Kompleks Parlemen Senayan pada Senin (1 September 2025), Tandyo menegaskan bahwa pencopotan status pembiaran tidak bisa sembarangan dikaitkan dengan institusinya.
Ia mengungkap bahwa permintaan bantuan pengamanan baru diterima pihaknya pada Jumat sore (30 Agustus 2025) setelah rumah Ahmad Sahroni dijarah. Pihak kepolisian maupun TNI merespons cepat melalui koordinasi serius setelah pertemuan khusus antara Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dan sejumlah menteri dengan Presiden Prabowo Subianto di Hambalang pada hari yang sama.
Presiden Prabowo memberikan arahan tegas kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk mengendalikan aksi anarkis para demonstran yang semakin tak terkendali. Hasilnya, pasukan TNI langsung turun ke lapangan pada hari berikutnya untuk membantu menetralisir situasi.
Tandyo juga membantah isu mengenai pembiaran terhadap pembakaran obyek vital nasional, termasuk Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT). Ia menjelaskan bahwa pengamanan fasilitas umum seperti MRT berada di bawah tanggung jawab Polri, sementara TNI hanya bertugas sesuai kewenangan yang telah diatur oleh UU. “Obyek vital nasional sudah ada klausulnya di UU. Penanganannya sesuai peraturan konstitusi. Tidak ada pembiaran dari kami,” tegas Tandyo.
Peristiwa ini menambah kompleksitas dinamika politik dan keamanan nasional dalam menghadapi gelombang protes besar. Publik kini menanti langkah lebih lanjut dari pemerintah dan aparat untuk memastikan situasi tetap kondusif di tengah amarah massa yang belum sepenuhnya reda. (JK)