Bengkulu, JejakKeadilan.com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu menjatuhkan vonis terhadap mantan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah. Ia divonis 10 tahun penjara atas kasus korupsi berupa pemerasan dalam jabatan yang diduga dilakukan untuk mendukung pencalonannya di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Selain hukuman penjara, Rohidin juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 700 juta dengan ancaman hukuman tambahan enam bulan kurungan jika tidak dipenuhi.
Majelis hakim, dipimpin oleh Faisol, juga menetapkan uang pengganti sebesar Rp 39 miliar yang harus dibayarkan. Jika gagal memenuhi kewajiban tersebut, Rohidin akan menghadapi tambahan hukuman berupa tiga tahun penjara. Vonis ini mengejutkan berbagai pihak yang hadir dalam persidangan, terutama karena hukuman yang dijatuhkan jauh lebih berat dibandingkan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelumnya, JPU hanya menuntut hukuman delapan tahun penjara, denda Rp 800 juta, dan uang pengganti senilai Rp 39 miliar.
Tidak hanya Rohidin, kasus ini juga menyeret nama mantan Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu, Isnan Fajri, dan ajudannya, Evriansyah. Isnan Fajri divonis tujuh tahun penjara disertai denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Sementara itu, Evriansyah mendapat hukuman lima tahun penjara dengan denda Rp 450 juta subsider tiga bulan kurungan.
Rohidin sendiri terlihat pasrah menerima keputusan majelis hakim tersebut. Dalam pernyataannya usai sidang, ia mengaku akan mempertimbangkan langkah hukum selanjutnya bersama tim kuasa hukumnya.
“Untuk saat ini, saya dan kuasa hukum masih pikir-pikir terkait kemungkinan banding,” ungkapnya setelah sidang putusan.
Majelis hakim menyatakan bahwa tindakan Rohidin melanggar Pasal 12 huruf B dan E Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Skandal ini bermula dari operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK pada 23 November 2025. Operasi tersebut berhasil menangkap delapan orang terkait dugaan pemerasan kepada sejumlah pegawai pemerintahan Bengkulu yang disebut-sebut dilakukan untuk menggalang dana kampanye Pilkada.
Wakil Ketua KPK kala itu, Alexander Marwata, menyebut adanya pungutan dari pegawai pemerintahan sebagai upaya ilegal untuk memenuhi kebutuhan pendanaan politik pribadi Rohidin Mersyah dan rekan-rekannya. Ia menegaskan bahwa praktik semacam ini merusak integritas demokrasi sekaligus menjadi ancaman serius bagi tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.
Dengan vonis berat ini, publik berharap kasus tersebut menjadi pelajaran bagi para pejabat lainnya agar tidak menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi atau politik. Kasus Rohidin merupakan salah satu bukti nyata bahwa penegakan hukum terhadap pejabat korup terus berjalan seiring dengan komitmen kuat pemberantasan korupsi di Indonesia. (**)